Senin siang kemarin, saya beserta beberapa teman singgah di Brebes, kabupaten di Jawa Tengah bagian barat. Siang itu kami ingin makan soto. Harus soto. Tidak bisa yang lain. Jadi kami carilah sang soto sampai ketemu. Singkat cerita, ditemukanlah seorang maestro peracik soto di dekat suatu pasar di sana. Amat langka juga ternyata keberadaan sang soto.
Begitu soto dihidangkan, ternyata bayang-bayang indah tentang soto di benak kami langsung runtuh seketika. ‘Soto’ ini lebih mirip ketoprak, hanya kuahnya lebih banyak dan tidak terlalu pedas. Ada ketupat (!!). Ada bihun. Ada taoge. Ada daun bawang. Ada kerupuk (!). Ada bumbu kacang (!!!!!). Dan yang paling horor, sang maestro peraciknya berani-beraninya menyebut racikannya ini sebagai soto! Setelahnya, sang maestro mencoba menghibur dengan menyajikan teh hangat (tanpa gula!) tapi kami sudah terlanjur patah hati.
Seperti biasa, penyakit “iseng-memikirkan-perkara-remeh-dan-gak-penting” saya kemudian kambuh.
Jadi, sebenarnya apa yang menyebabkan suatu masakan ‘berhak’ disebut sebagai soto? Apakah kuahnya? Padahal ada soto yang berkuah bening, ada yang bersantan. Apakah bumbunya? Nyatanya ada yang berbumbukacang (!!!) di Brebes dan yang bertabur koya di Lamongan.
Lalu iseng saya semakin menjadi-jadi.
Apa yang membuat seseorang berhak disebut sebagai manusia?
Apa yang membuat seseorang berhak disebut sebagai muslim?
Kalau kita hanya mempertimbangkan hal-hal yang tampak atau bisa diindera saja, apa bedanya dengan menilai semangkok soto?
Malang, 20 April 2011
*Hidup soto! Masakan cermin kebhinnekaan! 😀 😀 😀
wuaaah… siang2 yang panas, belum makan siang, eh baca tulisan nana…. dadi makin krucuk krucuk….
saya gak doyan soto…(lah, ngopo ngomong ng kene?!)
ikutan mbaca Na 😀
@mbak yulifia. haha. di sana deket kudus kan? soto kudus lumayan enak mbak 😀
@puch. dirimu bukan gak suka soto puch, tapi gak suka daging. ya to? :p